oleh Puri Handayani
"Kamu belum mau melepasku. Kenapa ?" Risa tak
menjawab. Kakinya masih sibuk menjejakkan pasir-pasir putih yang terhampar luas
di pantai itu. Sudah tiga puluh menit dia duduk di atas karang. Rambutnya
tergerai panjang dan sesekali terkibas karena lenguhan angin. Pandangannya
lurus ke depan. Mungkin matanya sedang memandang senja yang dilukis oleh
seniman impresi. Atau ombak dengan busa putih yang saling berkejoran. Atau
malah hanya tatapan kosong sekedarnya untuk membunuh sepi. Entahlah.
Mereka berdua terdiam. Saling tatap pun enggan. Anggi sedikit
mendekat. Tiga puluh menit pula dia duduk di kanan Risa.
"Sampai kapan kamu akan diam ?" tambah Anggi.
Risa hanya menoleh,
memandang mata Anggi lekat-lekat.
"Jangan memandangku seperti itu, Sa..."
"Kenapa ? Aku mencintaimu. Sungguh hanya itu. Apa satu
tahun ini merupakan waktu yang singkat sehingga begitu mudah untuk kamu lupakan
?"
"Aku tidak melupakannya !" nada bicara Anggi
sedikit naik.
Ombak semakin menderu mengiringi matahari yang tenggelam
dalam batas putih. Tak ada satupun bintang yang terlihat. Hanya gelap. Segelap
hati Risa kala itu. Bahkan tentang semua indah, melukiskan spektrum warna
melengkung. Dalam guratan putih berarakan. Menggantungkan titik berkilau pada
hamparan hitam. Ah, Risa menarik napas panjang dan menghempaskannya pelan.
"Aku yakin, aku bisa jadi yang terbaik untukmu.."
"Maaf Sa. Pun jika aku tetap bersamamu, itu hanya akan
menyakitimu. Dulu aku memang benar-benar mencintaimu. Tapi sekarang, maaf aku
telah mencintainya. Aku tidak tahu mengapa demikian. Tapi, rasa itu menjelma
udara dan memasuki celah kecil dalam hatiku. Mengisi penuh dan secara perlahan
menggantikan posisimu. Sekali lagi aku minta maaf..." jelasnya panjang
Hah, seketika hati Risa berubah menjadi kepingan-kepingan
oleh hantaman ombak. Matanya semakin kosong menatap lurus dalam gelombang air
yang telah menganak sungai pada ke dua pipinya. Perih ! Betapa tidak ?
Kesetiaan dalam menjaga hubungan kini diruntuhkan begitu saja oleh Anggi.
" Telah ada yang menggantikanmu sekarang, di sini,
" Anggi menunjuk dadanya. Mulut Risa terasa berat untuk berbicara. Dia
biarkan Anggi mendominasi percakapan. Toh, dalam keadaan seperti ini Risa
sadar, seberapapun dia berujar, tidak akan ada hasil apapun yang dia dapat. "
Terima kasih untuk semuanya, kamu baik-baik ya dengan perasaanmu. " Risa
mengangguk pelan. " Aku pergi. Aku sudah tidak membutuhkanmu !"